MASJID HIDAYATULLAH PONTIANAK

MASJID HIDAYATULLAH PONTIANAK

Kamis, 08 Oktober 2009

INDAH NYA BERBAGI DIBULAN YANG MULIA


Bulan Ramadhan telah meninggalkan kita, hati terasa sedih karena ditinggalkan bulan yang penuh dengan kemuliaan. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang membuat manusia-manusia yang beriman kepada Allah semakin dekat dan semakin baik kualitas keimanannya.
walaupun ramadhan telah berlalu tapi masih terasa didikan dibulan itu, sehingga kita berusaha untuk mempertahankannya.
Yayasan Hidayatullah Kota Pontianak, pada Ramadhan tahun 1430 H ini bekerja sama dengan Baitul Maal Hidayah memcoba berbagi dengan kaum dhuafa di kota pontianak dan sekitarnya. kita mencoba untuk langsung terjun ke lapangan dan memberikan bantuan kepada mereka,kadang hati ini terasa sedih dan treyuh melihat penderitaan mereka betapa disaat saudara-saudara kita yang mampu berbuka puasa ditempat peuh dengan kemewahan dan kelezatan, tapi mereka hanya dengan apa adanya. banyak yang kami dapat pelajaran semenjak Ramadhan ini, mudah-mudahan ini bisa menjadi pemicu semangat untuk terus bergerak dan berjuang membantung saudara-saudara seiman, agar mereka mendapatkan kehidupan yang layak.

Minggu, 22 Februari 2009

SAR HIDAYATULLAH KOTA PONTIANAK


Dalam rangka ikut serta dalam Aksi Sosial dimasyarakat, Insya Allah pada bulan Maret 2009 Yayasan Hidayatullah Pontianak akan mendirikan SAR Hidayatullah Kota Pontianak.
Adapun maksud dan tujuan didirikan SAR di Kota Pontianak ini, untuk meningkatkan peran serta lembaga ini untuk ikut berperan aktif dan tanggap akan kejadian di masyarakat.Juga untuk lebih mengajak para pemuda muslim dikota Pontianak, untuk lebih memanfaatkan waktu luangnya untuk melaksanakan aktivitas yang bermanfaat.
Acara ini, Insya Allah akan dibuka oleh Bapak Walikota Pontianak, yaitu Bapak H.Sutarmidji, SH,M.Hum. Adapun targer dari pembentukan SAR Hidayatullah ini, untuk lebih antisipasi dini terhadap musibah atau bencana yang mungkin terjadi.
SAR, akronim dari Search and Rescue, adalah kegiatan dan usaha mencari, menolong, dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dalam musibah-musibah seperti pelayaran, penerbangan, dan bencana. Istilah SAR telah digunakan secara internasional tak heran jika sudah sangat mendunia sehingga menjadi tidak asing bagi orang di belahan dunia manapun tidak terkecuali di Indonesia.
Operasi SAR dilaksanakan tidak hanya pada daerah dengan medan berat seperti di laut, hutan, gurun pasir, tapi juga dilaksanakan di daerah perkotaan. Operasi SAR seharusnya dilakuan oleh personal yang memiliki ketrampilan dan teknik untuk tidak membahayakan tim penolongnya sendiri maupun korbannya. Operasi SAR dilaksanakan terhadap musibah penerbangan seperti pesawat jatuh, mendarat darurat dan lain-lain, sementara pada musibah pelayaran bila terjadi kapal tenggelam, terbakar, tabrakan, kandas dan lain-lain. Demikian juga terhadal adanya musibah lainnya seperti kebakaran, gedung runtuh, kecelakaan kereta api dan lain-lain.
Terhadap musibah bencana alam, operasi SAR merupakan salah satu rangkaian dari siklus penanganan kedaruratan penanggulan bencana alam. Siklus tersebut terdiri dari pencegahan (mitigasi) , kesiagaan (preparedness), tanggap darurat (response) dan pemulihan (recovery), dimana operasi SAR merupakan bagian dari tindakan dalam tanggap darurat.
Di bidang pelayaran dan penerbangan, segala aspek yang melingkupinya termasuk masalah keselamatan dan keadaan bahaya, telah diatur oleh badan internasional IMO dan ICAO melalui konvensi internasional. Sebagai pedoman pelaksanaan operasi SAR, diterbitkan IAMSAR Manual yang merupakan pedoman bagi negara anggotanya dalam pelaksaan operasi SAR untuk pelayaran dan penerbangan. Untuk menyeragamkan tindakan agar dicapai suatu hasil yang maksimal maka digunakan suatu Sistem SAR (SAR Sistem) yang perlu dipahami bagi semua pihak terlibat. Dalam pelaksanaan operasi SAR melibatkan banyak pihak baik dari militer, kepolisian, aparat pemerintah, organisasi masyrakat dan lain-lainnya. Demikian juga sesuai dengan ketentuan IMO dan ICAO setiap negara wajib melaksanakan operasi SAR. Instansi yang bertanggung jawab di bidang SAR berbeda-beda untuk setiap negara sesuai dengan ketentuan berlaku di masing-masing negara, di Indonesia tugas tersebut diemban oleh Badan SAR Nasional (BASARNAS).
Hidayatullah merupakan Organisasi Massa yang telah tersebar diseluruh Indonesia, juga mempunyai tanggung jawab terhadap bangsa dan negara ini, juga telah membentuk SAR Hidayatullah yang melibatkan generasi muda. SAR Hidayatullah yang berpusat di Jakarta telah banyak ikut terlibat dalam penyelamatan dan membantu korban bencana alam di Indonesia, salah satu contohnya saat terjadi Tsunami di Aceh, SAR Hidayatullah ikut andil dalam penyelamatan.
Maka untuk lebih meningkatkan peran serta tersebut, maka kami Yayasan Hdayatullah Kota Pontianak, akan merekrut generasi muda kota Pontianak untuk ikut bergabung dalam SAR Hidayatulah Kota.
Adapun tujuan kami untuk merekrut generasi muda, agar para pemuda di kota Pontianak dapat mengikuti aktivitas yang positif dan dapat melatih kepedulian terhadap sesama.
Mengingat betapa mulianya tugas dan fungsi SAR, maka dibentuklah SAR Hidayatullah sebagai suatu bentuk kepedulian Yayasan Hidayatullah terhadap kegiatan-kegiatan kemanusian

Kamis, 12 Februari 2009

INDONESIA,ANTARA PEMIKIRAN DAN ERA BARU PERGERAKAN ISLAM



Lebih setengah abad penguasa gagal memimpin bangsa ini dengan amanah. Belum lagi penyakit pasrah dan kagum pada “penjajah”

Oleh: Dr Khalif Muammar *
Lebih seratus tahun wacana kebangkitan Ummah (al-sahwah al-Islamiyyah) dikumandangkan, wacana kebangkitan Ummah sering pula dilontarkan para cendekiawan. Tapi mengapa nasib umat ini masih tidak berubah? Mengapakah usaha-usaha umat ini sering menemui kegagalan? www.hidayatullah.com menurunkan tulisan Khalif Muammar selama dua seri
Memahami Masalah Umat
Sejarah adalah rekaman memori yang menentukan identitas bangsa atau umat. Tanpa memori yang betul maka akan sangat sulit sesuatu bangsa mengekalkan identitasnya. Tanpa identitas yang jelas pula sesuatu bangsa atau umat tidak akan mempunyai masa depan yang cerah. Masyarakat akan tidak mengerti sejarah dan keliru tentang identitas mereka jika banyak fakta-fakta sejarah telah diselewengkan baik oleh penjajah untuk kepentingan imperialisme mahupun penguasa bangsa untuk kepentingan status quo. Penyelewengan sejarah ini menyebabkan kekaburan identitas sesuatu bangsa sekaligus kekaburan masa depannya.
Hakikatnya sejarah mencatat bahwa bangsa ini telah memilih Islam sebagai agama dan cara hidup mereka selama lebih kurang seribu tahun. Malangnya hari ini warisan Islam telah dipinggirkan dan sebaliknya warisan agama tertentu yang sering dipuja dan diperbesarkan. Seharusnya Islam dan warisan Islam yang mendapat tempat istimewa dalam sejarah dan identitas bangsa ini. Penekanan kepada unsur-unsur Hinduisme ketika Orde Baru menyebabkan unsur-unsur keislaman menipis.
Kekeliruan identitas ini mengakibatkan kekeliruan epistemologi. Pemikiran umat kian terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan pandangan alam (worldview) Islam. Baik pemikiran sekular-liberal yang diadaptasi dari Barat maupun pemikiran-pemikiran sesat yang tidak mempunyai kerangka pemikiran yang kukuh sering menguak kedepan dan pemikiran benar yang bersumberkan Islam kian tenggelam.
Arus sekularisasi, modernisasi dan globalisasi yang deras ini telah menghanyutkan banyak golongan termasuk golongan cendekiawan sendiri yang seharusnya berfungsi mencerahkan umat.
Apa di dibalik kemunduran ini?
Dengan rahmat dan kebijaksanaan Allah swt para nabi diutus dengan risalah tauhid. Tauhid tidak hanya berfungsi sebagai suatu kredo tetapi sebagai liberating force (wahana pembebasan). Misi nabi Musa bukan hanya menyampaikan pesan Allah tetapi juga membebaskan Bani Israil dari belenggu penindasan Firaun. Bangsa tersebut telah mengalami penghambaan (isti'bad), pembodohan (istikhfaf) dan subjugasi (istid'af). Firaun telah memperbodohkan umatnya dengan mengaku sebagai Tuhan (fastakhaffa qawmahu). Dia lalu memaksa dan menindas bangsanya untuk tunduk dan patuh hanya kepadanya (alladhinastud'ifu). Maka melalui tauhid Islam berperan memerdekakan manusia dari segala bentuk belenggu untuk kemudian menjadikan sesuatu bangsa itu bertamadun dan memimpin dunia.
Jadi tauhid dalam Islam adalah antitesis penindasan, pembodohan dan subjugasi. Dalam hal ini, ucapan masyhur Sayyidina Umar yang menentang penindasan amat jelas: “Sejak kapankah kamu punya hak untuk memperhambakan manusia sedangkan mereka telah dilahirkan oleh ibu-ibu mereka sebagai manusia merdeka”.
Penindasan apapun bentuknya akan melemahkan sesuatu bangsa dan umat. Al-Kawakibi (1855-1902) melalui bukunya Taba'i al-Istibdad telah menentang keras pemerintahan despotik, kuku besi yang dilakukan oleh pemerintah di zamannya. Al-Kawakibi, yang terpaksa menulis buku tersebut tanpa memberikan nama sebenarnya, mengatakan bahwa masalah utama umat Islam ketika itu yang menyebabkan umat Islam semakin mundur dan lemah adalah pemerintahan absolutis (al-istibdad al-siyasi). Tetapi penindasan adalah sesuatu yang biasa berlaku dalam sejarah. Atas dasar ini Ibn Khaldun, jauh sebelum Lord Acton, menegaskan bahwa penguasa, secara tabatnya, cenderung menindas. Tetapi Ibn Khaldun kemudian memberi solusi bahwa hanya apabila pemerintahan benar-benar berdasarkan kepada agama maka penindasan tidak berlaku. Karena itu apabila Islam tidak memisahkan politik dari agama ia menginginkan agar kuasa perlu berada di tangan orang yang beradab. Karena orang yang beradab tidak akan melakukan “abuse of power”.
Realitasnya penindasan dan neo-imperialisme masih berlaku sehingga ke hari ini. Kapitalisme sering dikaitkan dengan imperialisme moden di mana kekayaan sumber alam dan sumber manusia dari negara-negara miskin diekploitasi untuk kepentingan golongan kapitalis dengan mengorbankan keseimbangan alam sekitar dan kesejahteraan sosial. Kuasa Barat menyokong penguasa-penguasa despotik dan absolutis dunia Islam. Ini karena kemunduran dunia Islam dan kebergantungan para penguasa kuku besi ini akan menguntungkan Barat. Jelasnya kuasa besar tidak akan membiarkan umat Islam sepenuhnya merdeka dan maju.
Watak Penjajah dan Barat
Indonesia adalah antara negara yang kaya dengan sumber asli dan memiliki sumber manusia yang dapat menggoncangkan dunia. Ironisnya kekayaan sumber alam dan sumber manusia ini tidak meletakkan bangsa ini di antara bangsa yang berpengaruh di dunia. Setelah lebih setengah abad para penguasa gagal mengurus dan memimpin bangsa ini dengan baik dan amanah adalah antara penyebab bangsa ini kian terpuruk.
Di samping kegagalan penguasa ada beberapa perkara yang menyebabkan sesuatu bangsa terus lemah: Pertama, Watak pasrah dan Kedua, Watak submissif.
Tidak sedikit yang memberi jawaban bahwa puncak kemunduran umat Islam adalah permasalahan dalam aspek politik dan ekonomi. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa segala permasalahan umat akan selesai jika berlaku peralihan kuasa atau kuasa ekonomi berada di tangan umat Islam. Ini adalah jawaban yang mudah dilontarkan dan mudah difahami oleh masyarakat luas. Tetapi ia juga adalah jawaban yang agak dangkal (sathiyyah), tidak historis dan tidak mengakar. Mencari kesalahan pada satu pihak yang paling tampak di permukaan adalah langkah yang paling mudah dan menyenangkan. Sebenarnya jika diteliti dengan mendalam, akan jelas bahwa apa yang dilihat hanyalah yang wujud dipermukaan sedangkan yang keadaan yang sebenarnya adalah jauh lebih serius dan mendalam.
Berangkat dari premis yang ditegaskan dalam Al-Quran bahwa nasib suatu umat tidak akan berubah melainkan umat itu merubahnya sendiri , kita perlu melihat bahwa mungkin Al-Quran ingin memberikan isyarat perlunya sesuatu dilakukan terhadap watak umat Islam. Karena kejadian manusia tidak dapat dirubah, yang menjadi kendala kepada perubahan yang didambakan adalah diri terutamanya pemikiran dan jiwa sesuatu bangsa. Keadaan diri ini apabila terpahat sekian lama akan mencipta watak yang tersendiri. Di sinilah kita akan melihat kepada psyche (watak) bangsa Melayu-Indonesia yang terjadi hasil dari proses sejarah yang cukup lama.
Memang tidak banyak orang yang berani melihat kekurangan dan keburukan sendiri, oleh itu, memahami dan berani mengakuinya untuk kemudian melakukan perubahan adalah suatu keberanian. Dalam Al-Quran Allah swt menjelaskan bahwa apapun tragedi yang menimpa kita adalah ulah kita sendiri:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan badar) kamu berkata: "dari mana datangnya (kekalahan) ini?" katakanlah: "itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” (surah Ali ‘Imran: 165).
Terdapat beberapa kajian yang dilakukan oleh beberapa sarjana bahwa umat Islam memiliki watak pasrah, berjiwa submissif dan berfikiran tawanan (the captive mind). Syed Husein al-Attas menegaskan bahwa dalam masyarakat membangun hari ini yang telah lama bebas dari penjajahan dan ramai cerdik pandai tetapi kewujudan intelektual sebenarnya hampir tidak ada sama sekali. Yang berpengaruh malah “orang pandir” sehingga bangsa gagal menyelesaikan masalahnya.
Pandangan beliau ini tentu bukan hanya berkaitan pemikiran dan intelektualisme tetapi juga kejiwaan bangsa tersebut karena keduanya saling berkaitan. Malik Bennabi menegaskan bahwa colonisibility (al-qabiliyyah li al-isti'mar), kecenderungan untuk dijajah, yang menjadi puncak penjajahan berlaku sekian lama terhadap umat Islam. Kelemahan dalam ini terjelma karena sikap terlalu kagum terhadap Barat. menganggap segala apa yang datang dari Barat adalah yang terbaik. Kekaguman yang keterlaluan ini datang karena mereka menganggap diri mereka kecil, dan perasaan kerdil ini lahir setelah sekian lama diperkecilkan. Maka watak orang yang dijajah, baik kesan dari penjajahan tradisional ataupun penjajahan baru (neo-imperialisme), adalah suka mengikut penjajah, sehingga dalam menyelesaikan masalah sendiri pun, kaedah dan parameter yang digunakan selalunya diambil dari penjajah.
Watak sesuatu bangsa benar-benar wujud. Kita melihat bagaimana sesuatu bangsa secara kolektif mempunyai keyakinan dan kepercayaan (confidence) pada diri (bangsa) sendiri. Mereka berfikir bersama, merasakan kepahitan bersama, mempunyai semangat bersama dan rasa bangga terhadap pencapaian bangsa. Begitu juga sebaliknya, atas faktor-faktor tertentu, sesuatu bangsa dapat kehilangan rasa yakin dengan kemampuan bangsa, bangga dengan pencapaian bangsa, semangat untuk membangunkan bangsa sendiri. Semua ini berlaku dalam proses yang panjang, dan kondisi sosio-politik sesuatu masyarakat banyak mewarnainya. Tentunya keadaan bangsa yang selalu diperhambakan, diperkecilkan, dan mengalami pembodohan untuk sekian lama banyak mempengaruhi watak negatif ini.
Pemerintahan feodal Hindu-Budha selama sekitar dua ribu tahun sebelum kedatangan Islam tentu memberi kesan yang mendalam ke atas watak dan identitas bangsa. Hanya setelah beberapa abad Islam masuk, penjajah datang untuk merampas kemerdekaan bangsa ini. Penjajahan juga berperan menindas dan memeras rakyat untuk kepentingan kompeni. Setelah Indonesia merdeka, seperti dinyatakan oleh Rendra, ia diperintah oleh penguasa-penguasa di kalangan bangsa sendiri yang mengikut model dan cara pemerintahan penjajah. Justru itu, pemerintahan diktator dan otoriter pada zaman Orde Lama dan Orde Baru tidak memulihkan watak pasrah dan watak submissif bangsa ini. Malah tanpa disadari gaya pemerintahan ini telah mengekalkan watak tersebut untuk kepentingan politik. Atas dasar ini Rendra mengatakan bahwa walaupun Indonesia telah merdeka tetapi rakyat Indonesia masih belum Merdeka. Rakyat masih lagi dijajah dan ditindas oleh kapitalis-kapitalis yang memeras kekayaan negara.
Semua peristiwa hitam ini terpahat dalam sejarah bangsa dan ia menjadi sebagian dari memori dan identitas bangsa ini. Peristiwa-peristiwa yang menjadi sebagian dari pengalaman bangsa ini mahu tidak mau memberi kesan yang luar biasa kepada wataknya.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimanakah membuang watak-watak negatif tersebut kepada watak yang positif, maju dan merdeka? Watak-watak ini perlu dibuang karena ia menjadi puncak kemunculan budaya yang anti kemajuan, sehingga bangsa senantiasa dihantui kemunduran dan keterpurukan. Watak pasrah akan menyebabkan masyarakat tidak mau atau tidak merasa perlu berusaha lebih, menerima kemiskinan, kesempitan, kejahilan, penindasan sebagai ketentuan nasib yang tidak mungkin dirubah. Masyarakat seperti ini tidak mampu melihat sumber dan sebab-sebab yang mengakibatkan keterpurukannya. Ada keengganan untuk bertindak menghilangkan sebab-sebab kemunduran atas alasan tidak ada apa yang dapat diperbuat. Ini menjadikan bangsa itu bangsa yang pesimis, menganggap nasib sesuatu yang tidak dapat dirubah. Pengaruh Hindu-Jawa yang seharusnya menipis dengan proses Islamisasi kembali menebal dengan proses subjugasi.
Watak submissif adalah kecenderungan seseorang untuk tunduk dan ikut apa saja yang diperintahkan oleh “si tuan”. Orang seperti ini tidak merasa memiliki dirinya sendiri. Tuannya berhak memperlakukan apa saja terhadapnya. Dalam sistem feodal hal ini tertanam dalam fikiran bangsa kita. Apa saja usaha yang dilakukan oleh rakyat hasilnya adalah untuk diberikan kepada Raja. Karena segalanya milik Raja. Dalam zaman penjajahan hal ini berlaku dengan paksaan dan ancaman. Penjajah telah memeras sumber manusia dan sumber alam bangsa ini melalui kerja paksa. Sehingga ketika membina jalan raya Anyer-Panarukan ratusan ribu rakyat mati akibat kerja paksa. Bangsa yang berwatak submissif akan menerima nasib sedemikian sebagai takdir. Di sinilah puncak wujudnya sikap fatalis. Mereka merasakan memang sudah nasib mereka demikian. Sabar adalah satu-satunya yang dapat menenangkan mereka.
Watak pasrah dan hamba ini menimbulkan satu budaya yang menghalang kemajuan. Budaya anti kemajuan akan merubah nilai-nilai yang sekian lama ternanam dalam identitas bangsa. Nilai kejujuran, nilai keberanian, nilai solidaritas sosial akan lenyap dan diganti dengan nilai kerakusan, nilai kepentingan diri, nilai kebendaan. Akhirnya korupsi yang semula dikecam dalam agama menjadi perkara yang lumrah dan keperluan hidup. Maka korupsi menjadi budaya dan kualitas menjadi tidak penting lagi. Dan akhirnya masa depan bangsa yang tergadai.
Maka untuk merubah watak bangsa, arah aliran mesti dibalikkan. Tentunya pertama sekali bangsa itu perlu dibebaskan daripada penindasan dan subjugasi. Ini tidak akan berlaku jika bangsa itu tidak sadar bahwa apa yang dialaminya adalah satu bentuk penindasan dan subjugasi. Watak akan berubah jika budaya berubah dan budaya akan berubah jika nilai berubah. Karena budaya adalah penjelmaan nilai-nilai.
Dalam Islam, nilai yang baik datang daripada Allah swt dan nilai yang buruk datang daripada syetan. Maka untuk menanamkan nilai-nilai murni, umat Muslim perlu kembali kepada Islam. Karena itu Islam menentang materialisme, hedonisme, penindasan, dan menggalakkan kesetaraan, keharmonian dan keadilan.
Kunci kepada perubahan watak dan nilai-nilai ini adalah kesadaran. Dan kesadaran bukan sesuatu yang dapat dipaksakan. Ia perlu melalui proses pendidikan baik formal maupun bukan formal. Karena itu pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia (the raising of human consciousness).
Sebenarnya tidak ada bangsa yang dilahirkan bodoh, tetapi ada bangsa yang selalu menjadi korban pembodohan sehingga seolah-olah ia menjadi bangsa yang bodoh. Bangsa yang dapat diperbodohkan adalah bangsa yang tidak cerdas. Jadi bangsa yang cerdas adalah bangsa yang tidak mudah diperbodohkan, tidak rela dipermainkan atau selalu menjadi korban kepentingan. Hakikat ini tidak tersembunyi untuk diketahui oleh orang-orang yang berfikir dan berani mengakui kelemahan. Mengakhiri tulisan bagian pertama, saya petikkan puisi Rendra.
“bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa
tanpa kita berdaya melawannya.
Semua terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.” [Maskumambang, 2006]
Penulis adalah seorang akademia di Kolej Dar al-Hikmah dan Penyelidik di Akademi Kajian Ketamadunan (AKK). Menamatkan program Sarjana Muda di Universiti Mu’tah, Jordan (1998) dalam bidang Shari‘ah dan Pengajian Islam, kemudian memperolehi M.A. (Islamic Civilization) pada tahun 2003 daripada ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), UIAM.

Rabu, 11 Februari 2009

ARAHAN ALLAH (TAUJIH RABBANI )




“Janganlah kamu merasa hina, dan jangan (pula) bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. Jika kamu ditimpa penderitaan maka kaum (kafir) juga merasakan penderitaan yang sama.” (QS Ali Imran : 139-140. Lihat juga ayat 104).

Jika mencermati kondisi ummat Islam belakangan ini sungguh menjadikan hati kita tersayat. Betapa penderitaan berkepanjangan yang menderanya tak kunjung berakhir, musibah demi musibah datang silih berganti, cobaan demi cobaan yang menyelimutinya tak kunjung lepas. Namun, yang perlu kita sadari bersama bahwa kaum selain kita juga merasakan kesulitan yang sama. Hanya saja obyek perasaan derita kita berbeda dengan yang mereka rasakan. Kesulitan kita adalah betapa beratnya mempertahankan komitmen (iltizam), keteguhan (tsabat), kesabaran, serta konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan syariat Islam di tengah-tengah gegap-gempitanya manusia yang berkonspirasi memarjinalkan peran Allah dalam kehidupan ini.
Sedangkan kesulitan kaum kafir adalah mempertahankan status quo kebatilan di tengah maraknya kebangkitan ummat Islam (nahdhatul ummah). Fenomena kesadaran beragama para mahasiswa, intelektual, kaum perkotaan semakin menggeliat. Mereka berusaha secara maksimal untuk membendung gejala kesadaran kembali ke Islam. Nampaknya kebangkitan Islam itu tidak bisa diredam dan diredupkan.

Usaha mereka hanya sia-sia belaka.

“Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang beriman).” (QS al-Fath : 29).

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupn orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At-Taubat : 32-33. Lihat juga : ash-Shaff : 8-9; al-Fath : 28).

“Telah nampak kebencian pada mulut-mulut mereka, dan apa yang disimpan di dada mereka lebih besar.” (QS Ali Imran : 118).

Jadi tidak kita saja yang menderita kesulitan, mereka juga merasakan kesulitan dalam menghadapi banyaknya kaum terpelajar, bangsa-bangsa di negara maju yang ingin kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fithrah mereka. Setelah mereka lari dari agama (kristen) karena dianggap menghambat kemajuan berfikir. Dan terjadilah kebebasan yang tak terkendali. Sains dan teknologi yang menjanjikan sarana kehidupan (wasilatul hayat) pada kehidupan globalisasi sebagai produk paham kebendaan (materialisme), terbukti gagal dalam memandu manusia modern menemukan kebahagiaan hidup. Mereka kembali kepada aliran eksistensialisme (hati nurani). Tetapi hati nurani seseorang dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, pergaulan, persepsi, kebiasaan yang berbeda-beda.

Kita juga merasakan kesulitan dalam mendesain kehidupan ini hanya mencari ridha Allah, saat dimana kebanyakan manusia ingin mencari keridhaan, restu kepada selain Allah. Oleh karena itu pada bagian ayat berikutnya Allah memberikan hiburan (tasliyah) kepada kita.

“Demikianlah hari-hari itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar memperoleh pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS Ali Imran : 140).

Terkadang kaum beriman itu sedang naik di atas pada masa keemasannya. Menempati posisi penting dan strategis. Adakalanya jatuh terpuruk, dan kaum kafir berjaya di dunia ini. Tentu kejayaan yang diraih selain kita adalah kejayaan yang palsu. Sementara kejayaan yang kita peroleh adalah kemenangan sejati. Kemenangan yang mencerahkan, menampakkan cahaya kebenaran. Sebab kejayaan orang kafir itu tidak mendapat arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah, sedangkan kejayaan ummat Islam memperoleh restu dari Allah. Kejayaan kaum muslimin terjadi ketika kita menyaksikan kembalinya kekuasaan Allah di dunia ini, secara de jure dan de facto (secara syar’i dan kauni).

Fiqh pergiliran dan pergantian zaman adalah sebuah kenyataan sejarah kehidupan manusia yang patut kita jadikan renungan secara mendalam. Timbul tenggelamnya bangsa di muka bumi ini memiliki maksud spesifik di mata Allah subhanahu wa ta’ala. Agar Dia mengetahui siapa diantara kita yang benar-benar beriman dan Dia mengambil sebagian komunitas itu sebagai syuhada’.

Barangsiapa memperhatikan keadaan ummat-ummat sepanjang sejarah maka ia akan mendapatkan pelajaran bahwa obor peradaban berpindah dari bangsa satu ke bangsa lain, dari satu tangan ke tangan lain. Sesungguhnya perputaran (saat) ini adalah milik kita, bukan melawan kita, kata Hasan al-Banna.
Dahulu kepemimpinan dunia di tangan negara-negara Timur, melalui peradaban Fir’aun, Asyuriah, Babylonia, Chaldea, Phoenisia, Persia, India dan China; kemudian ke Barat melalui peradaban Yunani dengan filsafatnya yang terkenal, berpindah lagi ke Timur lewat peradaban Arab-Islam, peradaban yang menyatukan iman dan ilmu, materi dan spiritual, lahir dan batin, lalu tenggelam dan melupakan risalahnya.
Barat memegang kendali kepemimpinan dunia. Akan tetapi ia tidak amanah. Bahkan mengalami kebangkrutan norma, melampaui keadilan, mementingkan kekuatan dari kebenaran, materi atas ruhani, benda atas manusia. Merupakan kewajaran bila obor peradaban harus berpindah ke tangan lain.

Kesadaran kita terhadap prinsip mendasar (mabda’ asasi) ini harus melekat dalam totalitas kepribadian kita sebagai sosok muslim, sosok yang memposisikan diri sebagai bagian dari elemen perubah (min ‘anashirit taghyir). Supaya sedikit pun kita tidak melangkah ke jalan lain selain jalan Allah. Tidak sedetik pun kita berfikir untuk memilih alternatif lain selain solusi dari Allah. Kalaupun orang lain tidak tahan, tidak sabar, kurang teguh menapaki tabiat perjalanan dakwah ini, tidak mengurangi stamina fisik dan ma’nawiyah (spirit) kita.

Jumat, 06 Februari 2009

Peradaban Islam, Dimulai Dari Tradisi Ilmu


Potret tradisi peradaban Islam ditandai berkembangnya Ilmu dan buku. Dalam sejarah, tak dijumpai meninggalkan candi
Hidayatullah.com--Peradaban Islam adalah peradaban tertinggi di dunia. Tidak ada yang mampu menandingi ketinggian dan kesempurnaanya. Bersifat multidimensi, tidak parsial hanya pada aspek fisik saja, namun juga spiritual. Sebagaimana pada jaman Umar bin Abdul Aziz, tidak ada rakyat yang kelaparan. Semuanya hidup makmur. Income perkapita negara sangat tinggi. Para penduduk juga semuanya muzakki (mengeluarkan zakat), tidak ada yang mustahiq (menerima zakat).
Untuk bidang keilmuan, di masa itu juga terbilang berkembang sangat pesat. Di Bagdad, dibuka jasa penerjemahan. Bagi penerjemah buku-buku bahasa asing, akan dibayar dengan emas seberat buku yang diterjemahkan. Selain itu, di Baitul Hikmah, terdapat 400 ribu judul buku. Dan konon, ada seorang pejabat yang tidak mau dipindahtugaskan gara-gara mempunyai banyak buku yang tidak bisa dibawa karena saking banyaknya.
Potret tradisi peradaban Islam, tidak meninggalkan candi atau yang lainnya, melainkan ilmu dan buku. Demikian disampaikan Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam acara bedah buku "Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam" di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Hakim (STAIL), Sabtu (31/1), kemarin.
Menurut Direktur Institute for The Study Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini, asas dari peradaban adalah pemikiran. Dan pemikiran harus bersumber Al-Quran. Lebih jauh, Hamid juga mengatakan, peradaban Barat yang kini terbentuk merupakan hasil yang dicuri dari peradaban Islam.
Banyak pemikiran, penemuan, dan buku-buku yang diplagiat atau diambil secara tidak jujur. Meski demikian, kata Hamid, kemajuan peradaban yang dialami Barat hanya sebatas tekhonologi, bukan spiritual.
"Oleh karena itu, umat Islam jangan sampai mengalami inferiority complex (rendah diri) melihat peradaban Barat yang semu," katanya.
Dalam sejarahnya, menurut Hamid, ketika filsafat Romawi dan Yunani "mati" mereka tidak mampu menghidupkannya kembali. Lalu, oleh al-Kindi, filsuf Islam, pemikiran-pemikiran seperti Aristoteles dan Plato dimodifikasi dan diklasifikasikan. Dalam kajiannya, Plato mengatakan bahwa tuhan hanya "duduk manis", kemudian dirubah oleh al-Kindi tuhan adalah tuhan al-Khalik (pencipta). Begitu juga ketika Aristoteles mengatakan tuhan the first (yang pertama), al-Kindi merubahnya menjadi tuhan al-Haq (yang benar).
"Hal lain masih banyak yang membuktikan, bahwa peradaban dan tradisi ilmu Islam jauh lebih maju ketimbang eropa dan Barat ketika itu," tutur Hamid.
Peradaban Islam, menurut Hamid dibangun dengan tradisi ilmu. Hal ini bisa dilacak dalam ayat yang mengatakan, "Ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah". Tradisi ilmu itu, bisa dilacak terhadap aktivitas Ashab al-Suffah yang getol mempelajari ilmu. Kemudian lahirlah perpustakaan Baitul Hikmah dan disusul universitas al-Azhar di Mesir. Dari situlah, ilmu terus berkembang sangat pesat.
Menurut Hamid, gambaran sejarah peradaban Islam bisa dilihat pada (QS. Ibrahim: 24/25). Kata sejarah merupakan derivasi dari kata syajarah (pohon). Yang dimaksud pohon sebagai simbol peradaban Islam. Dalam ayat itu, menurutnya kalimat thoyyibah (kalimat yang baik) adalah tauhid yang dipakai sebagai tamsil peradaban. Sedangkan ashluha tsabitun (akarnya teguh) bersifat absolut tidak berubah-ubah, dan far'uha fissama' (cabangnya ke langit) sebagai gambaran bahwa tidak ada yang mampu menandingi ketinggian peradaban Islam.
Oleh karena itu, Hamid mengaskan, kalimat thoyyibah itu sebagai epistemologi Islam yang harus menjadi sumber kajian peradaban Islam.
Di akhir materinya, Hamid menegaskan. Jika ingin terbentuknya akselarasi peradaban Islam maka wacana dan konsep mengenai peradaban harus sering digencarkan. "Jangan hanya rajin turun ke jalan, namun tidak tahu bagimana konsep membangun peradaban," katanya.[ans/www.hidayatullah.com]

Selasa, 03 Februari 2009

KEMENANGAN PASTI DI TANGAN UMAT ISLAM

Oleh: Ustad. Abdurrahman Muhammad
Pimpinan Umum Hidayatullah



Jumlah umat Islam pada saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) menyampaikan sabdanya itu masih sangat sedikit. Wilayah kekuasaannya baru sebatas Madinah, bahkan Makkah pun belum dibebaskan. Selain populasinya sedikit dan teritorialnya terbatas, kekuatan yang dimiliki baik kekuatan ekonomi maupun militer masih jauh dari memadai.

Adalah tugas pemimpin untuk menanamkan keyakinan, mengobarkan semangat, dan memberikan harapan-harapan tentang masa depan yang lebih baik. Pemimpin adalah motivator utama, dalam dirinya terdapat keyakinan yang kokoh, utuh dan bulat bahwa perjuangannya akan mencapai sukses gemilang. Tak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) berpihak pada perjuangannya, kelak Allah SWT pula yang akan memenangkan perjuangannya.

Pemimpin yang masih ragu-ragu, yang keyakinannya kurang bulat dan utuh, masih suka mengeluh, dan semangatnya loyo sebaiknya secepatnya meletakkan jabatannya dan memberikan kesempatan kepada yang lain untuk mengambil alih kepemimpinannya. Pemimpin yang masih ragu terhadap visi masa depannya sama sekali tak layak memimpin. Hanya mereka yang memiliki visi yang jelas dan yakin terhadap visinya saja yang layak dan memenuhi syarat menjadi pemimpin.

Dakwah dan perjuangan menegakkan Islam bukanlah perjalanan pendek dan sekali jalan. Jarak tempuhnya jauh, berliku, dan terjal. Hanya orang-orang yang memiliki keyakinan yang utuh dan kesabaran yang tinggi saja yang akan mampu melalui perjuangan ini. Allah SWT sendiri menginga

"Kalau yang kamu serukan kepada mereka keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka...." (At-Taubah [9]: 42).

Dalam konteks sekarang, di antara penduduk Palestina yang sedikit itu, berapa persen dari yang ikut berperang memanggul senjata menghadapi agressor Israel? Dalam situasi sekarang ini, semestinya semua lelaki dewasa Palestina ditambah dengan warga Arab di sekitarnya terjun ke medan laga, mempertaruhkan jiwa dan hartanya untuk menghadang agresi militer Israel yang bengis dan kejam itu. Hukum berperang untuk mempertahankan agama dan wilayah yang diduduki musuh adalah seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kita sadar bahwa perjuangan rakyat Palestina sudah berlangsung sangat lama, berat, dan menyakitkan. Perang yang tak mengenal jeda itu telah merenggut puluhan ribu jiwa, ratusan ribu orang yang terluka, dan kerugian harta benda yang tak ternilai besarnya. Maklum jika di antara mereka ada yang trauma, tak sedikit yang putus asa, bahkan tak kuasa menahan derita mereka pergi mereka pergi meninggalkan medan laga, mencari tempat atau Negara yang aman dan memulai hidup baru yang jauh kebisingan perang.
Itulah sebabnya, kaum Muslimin seluruh dunia harus membantu dan solider kepada mereka, baik dengan harta maupun jiwa. Setidak-tidaknya kita harus memberi dukungan doa. Percayalah, kemenangan pasti di tangan umat Islam. Kalau hari ini kalah, tak terlalu lama lagi mereka akan menang dan berjaya. Yakinlah, zionis Israel akan terusir dari tanah Palestina dalam keadaan hina. Allahu Akbar.

Kamis, 29 Januari 2009

FATWA MEROKOK HARAM

Komnas Perlindungan Anak Minta Iklan Rokok Dihapuskan

Menindaklanjuti fatwa haram rokok untuk anak-anak dan wanita hamil, sebagai bentuk perlindungan terhadap anak-anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendaftarkan uji materi terhadap pasal 46 ayat 3 (c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran iklan rokok ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Iklan rokok dipakai sebagai strategi bagi anak untuk merokok. Itu yang jadi alasan kami melakukan uji materi dan meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 46. Karena yang menjadi korban adalah anak-anak," ujar Wakil Ketua Umum Muhammad Joni saat mendaftarkan gugatan uji materi, di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (29/1).
Dia mengatakan, uji materi khususnya pasal 46 ayat 3 (c) yang berbunyi Siaran iklan niaga dilarang melakukan: (c) promosi rokok yang memperagakan wujud rokok, adalah sebagai bentuk upaya Komnas PA dalam melindungi anak-anak terhadap dampak iklan rokok.
"Kita ingin iklan rokok dihapuskan secara komprehensif. Jadi tidak ada lagi iklan rokok sepanjang frase memperagakan wujud rokok, harus dibatalkan," tegasnya
Joni menambahkan, rokok adalah zat adiktif yang hampir sama dengan minuman keras, dengan beredarnya iklan rokok dikhawatirkan menjadi strategi positif untuk meningkatkan jumlah perokok dikalangan anak-anak.
Selain itu, tambahnya MUI juga telah merumuskan rekomendasi fatwa haram merokok. Larangan tersebut di antaranya meminta pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melakukan larangan iklan merokok, baik iklan langsung maupun tidak langsung.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyatakan setuju dengan fatwa merokok haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab,
menurutnya, fatwa itu dinilai juga bisa melindungi kaum perempuan dan anak-anak yang harus dibebaskan dari asap rokok.
"Kalau MUI menelurkan fatwa itu, jelas dengan landasan agama. Kalau saya, melihat dari sisi hak perempuan dan anak yang harus dilindungi juga," katanya.
Dia juga mengatakan, ada banyak regulasi yang harus diatur untuk melindungi dua kelompok tersebut dari asap rokok. Salah satunya adalah tempat-tempat yang harus bebas dari asap rokok. Selain itu, juga sosialisasi bahwa anak-anak dan perempuan tak boleh terekspos langsung dengan rokok. "Juga, iklan rokok yang tak boleh ditayangkan dalam acara anak-anak," tandasnya. (novel)