MASJID HIDAYATULLAH PONTIANAK

MASJID HIDAYATULLAH PONTIANAK

Kamis, 12 Februari 2009

INDONESIA,ANTARA PEMIKIRAN DAN ERA BARU PERGERAKAN ISLAM



Lebih setengah abad penguasa gagal memimpin bangsa ini dengan amanah. Belum lagi penyakit pasrah dan kagum pada “penjajah”

Oleh: Dr Khalif Muammar *
Lebih seratus tahun wacana kebangkitan Ummah (al-sahwah al-Islamiyyah) dikumandangkan, wacana kebangkitan Ummah sering pula dilontarkan para cendekiawan. Tapi mengapa nasib umat ini masih tidak berubah? Mengapakah usaha-usaha umat ini sering menemui kegagalan? www.hidayatullah.com menurunkan tulisan Khalif Muammar selama dua seri
Memahami Masalah Umat
Sejarah adalah rekaman memori yang menentukan identitas bangsa atau umat. Tanpa memori yang betul maka akan sangat sulit sesuatu bangsa mengekalkan identitasnya. Tanpa identitas yang jelas pula sesuatu bangsa atau umat tidak akan mempunyai masa depan yang cerah. Masyarakat akan tidak mengerti sejarah dan keliru tentang identitas mereka jika banyak fakta-fakta sejarah telah diselewengkan baik oleh penjajah untuk kepentingan imperialisme mahupun penguasa bangsa untuk kepentingan status quo. Penyelewengan sejarah ini menyebabkan kekaburan identitas sesuatu bangsa sekaligus kekaburan masa depannya.
Hakikatnya sejarah mencatat bahwa bangsa ini telah memilih Islam sebagai agama dan cara hidup mereka selama lebih kurang seribu tahun. Malangnya hari ini warisan Islam telah dipinggirkan dan sebaliknya warisan agama tertentu yang sering dipuja dan diperbesarkan. Seharusnya Islam dan warisan Islam yang mendapat tempat istimewa dalam sejarah dan identitas bangsa ini. Penekanan kepada unsur-unsur Hinduisme ketika Orde Baru menyebabkan unsur-unsur keislaman menipis.
Kekeliruan identitas ini mengakibatkan kekeliruan epistemologi. Pemikiran umat kian terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan pandangan alam (worldview) Islam. Baik pemikiran sekular-liberal yang diadaptasi dari Barat maupun pemikiran-pemikiran sesat yang tidak mempunyai kerangka pemikiran yang kukuh sering menguak kedepan dan pemikiran benar yang bersumberkan Islam kian tenggelam.
Arus sekularisasi, modernisasi dan globalisasi yang deras ini telah menghanyutkan banyak golongan termasuk golongan cendekiawan sendiri yang seharusnya berfungsi mencerahkan umat.
Apa di dibalik kemunduran ini?
Dengan rahmat dan kebijaksanaan Allah swt para nabi diutus dengan risalah tauhid. Tauhid tidak hanya berfungsi sebagai suatu kredo tetapi sebagai liberating force (wahana pembebasan). Misi nabi Musa bukan hanya menyampaikan pesan Allah tetapi juga membebaskan Bani Israil dari belenggu penindasan Firaun. Bangsa tersebut telah mengalami penghambaan (isti'bad), pembodohan (istikhfaf) dan subjugasi (istid'af). Firaun telah memperbodohkan umatnya dengan mengaku sebagai Tuhan (fastakhaffa qawmahu). Dia lalu memaksa dan menindas bangsanya untuk tunduk dan patuh hanya kepadanya (alladhinastud'ifu). Maka melalui tauhid Islam berperan memerdekakan manusia dari segala bentuk belenggu untuk kemudian menjadikan sesuatu bangsa itu bertamadun dan memimpin dunia.
Jadi tauhid dalam Islam adalah antitesis penindasan, pembodohan dan subjugasi. Dalam hal ini, ucapan masyhur Sayyidina Umar yang menentang penindasan amat jelas: “Sejak kapankah kamu punya hak untuk memperhambakan manusia sedangkan mereka telah dilahirkan oleh ibu-ibu mereka sebagai manusia merdeka”.
Penindasan apapun bentuknya akan melemahkan sesuatu bangsa dan umat. Al-Kawakibi (1855-1902) melalui bukunya Taba'i al-Istibdad telah menentang keras pemerintahan despotik, kuku besi yang dilakukan oleh pemerintah di zamannya. Al-Kawakibi, yang terpaksa menulis buku tersebut tanpa memberikan nama sebenarnya, mengatakan bahwa masalah utama umat Islam ketika itu yang menyebabkan umat Islam semakin mundur dan lemah adalah pemerintahan absolutis (al-istibdad al-siyasi). Tetapi penindasan adalah sesuatu yang biasa berlaku dalam sejarah. Atas dasar ini Ibn Khaldun, jauh sebelum Lord Acton, menegaskan bahwa penguasa, secara tabatnya, cenderung menindas. Tetapi Ibn Khaldun kemudian memberi solusi bahwa hanya apabila pemerintahan benar-benar berdasarkan kepada agama maka penindasan tidak berlaku. Karena itu apabila Islam tidak memisahkan politik dari agama ia menginginkan agar kuasa perlu berada di tangan orang yang beradab. Karena orang yang beradab tidak akan melakukan “abuse of power”.
Realitasnya penindasan dan neo-imperialisme masih berlaku sehingga ke hari ini. Kapitalisme sering dikaitkan dengan imperialisme moden di mana kekayaan sumber alam dan sumber manusia dari negara-negara miskin diekploitasi untuk kepentingan golongan kapitalis dengan mengorbankan keseimbangan alam sekitar dan kesejahteraan sosial. Kuasa Barat menyokong penguasa-penguasa despotik dan absolutis dunia Islam. Ini karena kemunduran dunia Islam dan kebergantungan para penguasa kuku besi ini akan menguntungkan Barat. Jelasnya kuasa besar tidak akan membiarkan umat Islam sepenuhnya merdeka dan maju.
Watak Penjajah dan Barat
Indonesia adalah antara negara yang kaya dengan sumber asli dan memiliki sumber manusia yang dapat menggoncangkan dunia. Ironisnya kekayaan sumber alam dan sumber manusia ini tidak meletakkan bangsa ini di antara bangsa yang berpengaruh di dunia. Setelah lebih setengah abad para penguasa gagal mengurus dan memimpin bangsa ini dengan baik dan amanah adalah antara penyebab bangsa ini kian terpuruk.
Di samping kegagalan penguasa ada beberapa perkara yang menyebabkan sesuatu bangsa terus lemah: Pertama, Watak pasrah dan Kedua, Watak submissif.
Tidak sedikit yang memberi jawaban bahwa puncak kemunduran umat Islam adalah permasalahan dalam aspek politik dan ekonomi. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa segala permasalahan umat akan selesai jika berlaku peralihan kuasa atau kuasa ekonomi berada di tangan umat Islam. Ini adalah jawaban yang mudah dilontarkan dan mudah difahami oleh masyarakat luas. Tetapi ia juga adalah jawaban yang agak dangkal (sathiyyah), tidak historis dan tidak mengakar. Mencari kesalahan pada satu pihak yang paling tampak di permukaan adalah langkah yang paling mudah dan menyenangkan. Sebenarnya jika diteliti dengan mendalam, akan jelas bahwa apa yang dilihat hanyalah yang wujud dipermukaan sedangkan yang keadaan yang sebenarnya adalah jauh lebih serius dan mendalam.
Berangkat dari premis yang ditegaskan dalam Al-Quran bahwa nasib suatu umat tidak akan berubah melainkan umat itu merubahnya sendiri , kita perlu melihat bahwa mungkin Al-Quran ingin memberikan isyarat perlunya sesuatu dilakukan terhadap watak umat Islam. Karena kejadian manusia tidak dapat dirubah, yang menjadi kendala kepada perubahan yang didambakan adalah diri terutamanya pemikiran dan jiwa sesuatu bangsa. Keadaan diri ini apabila terpahat sekian lama akan mencipta watak yang tersendiri. Di sinilah kita akan melihat kepada psyche (watak) bangsa Melayu-Indonesia yang terjadi hasil dari proses sejarah yang cukup lama.
Memang tidak banyak orang yang berani melihat kekurangan dan keburukan sendiri, oleh itu, memahami dan berani mengakuinya untuk kemudian melakukan perubahan adalah suatu keberanian. Dalam Al-Quran Allah swt menjelaskan bahwa apapun tragedi yang menimpa kita adalah ulah kita sendiri:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan badar) kamu berkata: "dari mana datangnya (kekalahan) ini?" katakanlah: "itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” (surah Ali ‘Imran: 165).
Terdapat beberapa kajian yang dilakukan oleh beberapa sarjana bahwa umat Islam memiliki watak pasrah, berjiwa submissif dan berfikiran tawanan (the captive mind). Syed Husein al-Attas menegaskan bahwa dalam masyarakat membangun hari ini yang telah lama bebas dari penjajahan dan ramai cerdik pandai tetapi kewujudan intelektual sebenarnya hampir tidak ada sama sekali. Yang berpengaruh malah “orang pandir” sehingga bangsa gagal menyelesaikan masalahnya.
Pandangan beliau ini tentu bukan hanya berkaitan pemikiran dan intelektualisme tetapi juga kejiwaan bangsa tersebut karena keduanya saling berkaitan. Malik Bennabi menegaskan bahwa colonisibility (al-qabiliyyah li al-isti'mar), kecenderungan untuk dijajah, yang menjadi puncak penjajahan berlaku sekian lama terhadap umat Islam. Kelemahan dalam ini terjelma karena sikap terlalu kagum terhadap Barat. menganggap segala apa yang datang dari Barat adalah yang terbaik. Kekaguman yang keterlaluan ini datang karena mereka menganggap diri mereka kecil, dan perasaan kerdil ini lahir setelah sekian lama diperkecilkan. Maka watak orang yang dijajah, baik kesan dari penjajahan tradisional ataupun penjajahan baru (neo-imperialisme), adalah suka mengikut penjajah, sehingga dalam menyelesaikan masalah sendiri pun, kaedah dan parameter yang digunakan selalunya diambil dari penjajah.
Watak sesuatu bangsa benar-benar wujud. Kita melihat bagaimana sesuatu bangsa secara kolektif mempunyai keyakinan dan kepercayaan (confidence) pada diri (bangsa) sendiri. Mereka berfikir bersama, merasakan kepahitan bersama, mempunyai semangat bersama dan rasa bangga terhadap pencapaian bangsa. Begitu juga sebaliknya, atas faktor-faktor tertentu, sesuatu bangsa dapat kehilangan rasa yakin dengan kemampuan bangsa, bangga dengan pencapaian bangsa, semangat untuk membangunkan bangsa sendiri. Semua ini berlaku dalam proses yang panjang, dan kondisi sosio-politik sesuatu masyarakat banyak mewarnainya. Tentunya keadaan bangsa yang selalu diperhambakan, diperkecilkan, dan mengalami pembodohan untuk sekian lama banyak mempengaruhi watak negatif ini.
Pemerintahan feodal Hindu-Budha selama sekitar dua ribu tahun sebelum kedatangan Islam tentu memberi kesan yang mendalam ke atas watak dan identitas bangsa. Hanya setelah beberapa abad Islam masuk, penjajah datang untuk merampas kemerdekaan bangsa ini. Penjajahan juga berperan menindas dan memeras rakyat untuk kepentingan kompeni. Setelah Indonesia merdeka, seperti dinyatakan oleh Rendra, ia diperintah oleh penguasa-penguasa di kalangan bangsa sendiri yang mengikut model dan cara pemerintahan penjajah. Justru itu, pemerintahan diktator dan otoriter pada zaman Orde Lama dan Orde Baru tidak memulihkan watak pasrah dan watak submissif bangsa ini. Malah tanpa disadari gaya pemerintahan ini telah mengekalkan watak tersebut untuk kepentingan politik. Atas dasar ini Rendra mengatakan bahwa walaupun Indonesia telah merdeka tetapi rakyat Indonesia masih belum Merdeka. Rakyat masih lagi dijajah dan ditindas oleh kapitalis-kapitalis yang memeras kekayaan negara.
Semua peristiwa hitam ini terpahat dalam sejarah bangsa dan ia menjadi sebagian dari memori dan identitas bangsa ini. Peristiwa-peristiwa yang menjadi sebagian dari pengalaman bangsa ini mahu tidak mau memberi kesan yang luar biasa kepada wataknya.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimanakah membuang watak-watak negatif tersebut kepada watak yang positif, maju dan merdeka? Watak-watak ini perlu dibuang karena ia menjadi puncak kemunculan budaya yang anti kemajuan, sehingga bangsa senantiasa dihantui kemunduran dan keterpurukan. Watak pasrah akan menyebabkan masyarakat tidak mau atau tidak merasa perlu berusaha lebih, menerima kemiskinan, kesempitan, kejahilan, penindasan sebagai ketentuan nasib yang tidak mungkin dirubah. Masyarakat seperti ini tidak mampu melihat sumber dan sebab-sebab yang mengakibatkan keterpurukannya. Ada keengganan untuk bertindak menghilangkan sebab-sebab kemunduran atas alasan tidak ada apa yang dapat diperbuat. Ini menjadikan bangsa itu bangsa yang pesimis, menganggap nasib sesuatu yang tidak dapat dirubah. Pengaruh Hindu-Jawa yang seharusnya menipis dengan proses Islamisasi kembali menebal dengan proses subjugasi.
Watak submissif adalah kecenderungan seseorang untuk tunduk dan ikut apa saja yang diperintahkan oleh “si tuan”. Orang seperti ini tidak merasa memiliki dirinya sendiri. Tuannya berhak memperlakukan apa saja terhadapnya. Dalam sistem feodal hal ini tertanam dalam fikiran bangsa kita. Apa saja usaha yang dilakukan oleh rakyat hasilnya adalah untuk diberikan kepada Raja. Karena segalanya milik Raja. Dalam zaman penjajahan hal ini berlaku dengan paksaan dan ancaman. Penjajah telah memeras sumber manusia dan sumber alam bangsa ini melalui kerja paksa. Sehingga ketika membina jalan raya Anyer-Panarukan ratusan ribu rakyat mati akibat kerja paksa. Bangsa yang berwatak submissif akan menerima nasib sedemikian sebagai takdir. Di sinilah puncak wujudnya sikap fatalis. Mereka merasakan memang sudah nasib mereka demikian. Sabar adalah satu-satunya yang dapat menenangkan mereka.
Watak pasrah dan hamba ini menimbulkan satu budaya yang menghalang kemajuan. Budaya anti kemajuan akan merubah nilai-nilai yang sekian lama ternanam dalam identitas bangsa. Nilai kejujuran, nilai keberanian, nilai solidaritas sosial akan lenyap dan diganti dengan nilai kerakusan, nilai kepentingan diri, nilai kebendaan. Akhirnya korupsi yang semula dikecam dalam agama menjadi perkara yang lumrah dan keperluan hidup. Maka korupsi menjadi budaya dan kualitas menjadi tidak penting lagi. Dan akhirnya masa depan bangsa yang tergadai.
Maka untuk merubah watak bangsa, arah aliran mesti dibalikkan. Tentunya pertama sekali bangsa itu perlu dibebaskan daripada penindasan dan subjugasi. Ini tidak akan berlaku jika bangsa itu tidak sadar bahwa apa yang dialaminya adalah satu bentuk penindasan dan subjugasi. Watak akan berubah jika budaya berubah dan budaya akan berubah jika nilai berubah. Karena budaya adalah penjelmaan nilai-nilai.
Dalam Islam, nilai yang baik datang daripada Allah swt dan nilai yang buruk datang daripada syetan. Maka untuk menanamkan nilai-nilai murni, umat Muslim perlu kembali kepada Islam. Karena itu Islam menentang materialisme, hedonisme, penindasan, dan menggalakkan kesetaraan, keharmonian dan keadilan.
Kunci kepada perubahan watak dan nilai-nilai ini adalah kesadaran. Dan kesadaran bukan sesuatu yang dapat dipaksakan. Ia perlu melalui proses pendidikan baik formal maupun bukan formal. Karena itu pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia (the raising of human consciousness).
Sebenarnya tidak ada bangsa yang dilahirkan bodoh, tetapi ada bangsa yang selalu menjadi korban pembodohan sehingga seolah-olah ia menjadi bangsa yang bodoh. Bangsa yang dapat diperbodohkan adalah bangsa yang tidak cerdas. Jadi bangsa yang cerdas adalah bangsa yang tidak mudah diperbodohkan, tidak rela dipermainkan atau selalu menjadi korban kepentingan. Hakikat ini tidak tersembunyi untuk diketahui oleh orang-orang yang berfikir dan berani mengakui kelemahan. Mengakhiri tulisan bagian pertama, saya petikkan puisi Rendra.
“bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa
tanpa kita berdaya melawannya.
Semua terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.” [Maskumambang, 2006]
Penulis adalah seorang akademia di Kolej Dar al-Hikmah dan Penyelidik di Akademi Kajian Ketamadunan (AKK). Menamatkan program Sarjana Muda di Universiti Mu’tah, Jordan (1998) dalam bidang Shari‘ah dan Pengajian Islam, kemudian memperolehi M.A. (Islamic Civilization) pada tahun 2003 daripada ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), UIAM.

Tidak ada komentar: